Thursday, March 16, 2017

Rahasia Kehalalan dan Kethoyyiban Bangkai Ikan BerdasarkanTinjauan Ilmiah dan Tinjauan Al Qur’an Surat An Nahl ayat 14

MUSABAQAH KARYA TULIS ILMIAH AL-QUR’AN


Rahasia Kehalalan dan Kethoyyiban Bangkai Ikan BerdasarkanTinjauan Ilmiah dan Tinjauan Al Qur’an Surat An Nahl ayat 14


BIDANG TEMA
AL-QUR’AN DAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI



Oleh :

Siti raudoh C34080089
Hilda Rafika Waty C34080004
Asep Bulkini C14080058






INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011



I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Allah SWT menciptakan bumi dan segala isinya dengan penciptaan yang sempurna. Tidak ada kecacatan dalam penciptaan Allah SWT. Berdasarkan Al Qur’an, Allah SWT telah menegaskan bahwa Al Qur’an tidak ada keraguan padanya. Sesungguhnya keterdahuluan Al Qur'an dalam mengisyaratkan fakta-fakta ilmiah tersebut dungkapkan dengan sangat teliti, baik dari segi ilmiahnya, bahasa, cakupan maupun totalitasnya.

Berdasarkan kesempurnaan Al Qur’an, banyak hikmah dan pelajaran yang dapat diperoleh. Semua ilmu pengetahuan modern yang berkembang saat ini ternyata telah terbukti ada di dalam Al Qur’an. Allah SWT menciptakan langit dan bumi beserta isinya dengan sangat teliti dan seimbang. Bila ditelaah berdasarkan ayat-ayat kauniyah Allah melalui penelitian alam, maka terbuktilah keteraturan dan keseimbangan yang ada di semesta ini. Dalam surat Ali Imran 191 disebutkan :

“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):”Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.

Al Qur’an merupakan Kalamullah yang memberikan petunjuk kepada manusia yang ingin mengkaji isi kandungannya. Al Qur’an telah menjelaskan berbagai fenomena alam dan ilmu pengetahuan yang baru terungkap oleh ilmu pengetahuan pada dasawarsa terakhir. Tiap-tiap benda di permukaan bumi ini menurut hukum aslinya adalah halal, kecuali jika ada larangan dari syara’ atau karena mudharatnya. Allah SWT telah menjelaskan dalam potongan Al Qur’an Surat Al A’raf ayat 157 :
“Dan Allah menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”

Berdasarkan dalil ‘aqli tersebut, maka dapat dipahami bahwa Allah SWT telah menghalalkan segala hal yang baik dan mengharamkan semua yang memberi mudharat. Islam memerintahkan kepada pemeluknya untuk memilih makanan yang halal serta menjauhi makanan haram. Makanan yang halal dan haram dapat ditemukan pada fenomena karakteristik bangkai hewan laut dan bangkai hewan darat.

Haramnya bangkai menurut Islam yaitu hewan yang mati begitu saja atau disembelih tidak dengan cara yang sesuai dengan syari’at (Kitab Bulughul Marom). Hal ini berkaitan dengan keistimewaan rahasia fenomena kehalalan makanan yang berasal dari hewan laut, baik yang berupa ikan ataupun bukan, mati karena ada penyebabnya ataupun mati sendiri (bangkai ikan) telah tercantum dalam Surat An-Nahl ayat 14.

Artinya : “Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur”.

Ayat Al Qur’an di atas telah menerangkan bahwa salah satu keistimewaan dan keagungan Allah SWT dalam memenuhi kebutuhan makanan dan memilih makanan yang telah dihalalkan Allah sekalipun sudah menjadi bangkai dalam kadar thoyyibnya. Pendapat ini juga dijelaskan di dalam Al Qur’an Surat Al Maidah ayat 96 dan juga didukung oleh hadist-hadist yang disampaikan oleh Rasulullah SAW yang mengungkapkan kehalalan ikan.

Para ahli menyatakan bahwa ikan memiliki beberapa karakteristik keistimewaan yang Allah letakan padanya, diantaranya yaitu proses metabolisme hewan air yang berbeda dengan proses metabolisme hewan darat. Zat sisa metabolisme hewan air lebih sedikit dan cenderung netral jika dibandingkan dengan sisa metabolisme hewan darat. Selain itu, ikan memiliki karakteristik fisiologi, khususnya sistem eksresi yang mendukung kehalalan bangkainya dibandingkan dengan bangkai hewan darat. Kejadian ini juga akan sangat berkaitan dengan proses-proses fisika, kimia dan biologi yang terjadi setelah fase kematian ikan. Perbedaan karakteristik inilah yang akan dikaji untuk melihat letak keistimewaan dan rahasia kehalalan bangkai ikan dibandingkan bangkai hewan darat.

Ilmu pengetahuan telah dapat mengungkapkan fakta ini begitupun Al Qur’an dan Hadist yang telah mengungkapkannya ketika ilmu pengetahuan belum maju. Maka tidak mungkin Al Qur’an ini merupakan tulisan manusia, sepintar dan sejenius apapun pada zaman turunnya Al Qur’an. Penelitian semacam ini agak sulit dilakukan mengingat kemampuan peralatan eksplorasi di masa kehidupan Nabi Muhammad SAW tidak memungkinkan untuk melakukan penelitian tersebut. Sayangnya masih banyak manusia yang masih meragukan kebenaran Al Qur’an. Masih banyak yang menganggap fenomena-fenomena alam yang disebutkan dalam Al Qur’an sebagai sesuatu yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah. Kini melihat penjelasan ilmiah tentang kehalalan bangkai ikan serta manfaat dihalalkannya bangkai ikan yang telah dibuktikan oleh penelitian para ilmuwan, maka pembuktian kebenaran ayat-ayat Al Qur’an dapat dijelaskan kepada publik.

Karya tulis ilmiah ini bertujuan untuk membuka pengetahuan dan wawasan masyarakat mengenai rahasia kehalalan bangkai ikan serta berharap masyarakat dapat memanfaatkan ikan lebih dari sekedar dijadikan sumber pangan dan industri ikan segar.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana isyarat Islam mengenai bangkai hewan laut (ikan) dibandingkan bangkai hewan darat berdasarkan Surat An-Nahl ayat 14 dan Al Maidah ayat 96?
2. Bagaimana tinjauan ilmu pengetahuan (sains) terhadap proses metabolisme dan karakteristik mutu bangkai ikan yang halal dan thoyyib untuk dikonsumsi?

1.3. Tujuan Penulisan

Tulisan ini disusun dengan tujuan untuk memberikan pembuktian ilmiah dan penjelasan manfaat tentang perspektif Islam dan tinjauan ilmiah (sains) terhadap rahasia kehalalan bangkai hewan laut (ikan) dibandingkan bangkai hewan darat seperti yang telah disebutkan dalam surat An-Nahl ayat 14 sebagai salah satu bukti kebenaran Al Qur’an.

1.4. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan dapat dilihat dari dua perspektif yaitu :
1. Secara teoritis
a. Menunjukkan kebenaran ayat Al Qur’an berkaitan dengan rahasia dibalik kehalalan bangkai ikan dibandingkan bangkai hewan darat
b. Menunjukan bahwa semua ciptaan Allah pasti ada manfaatnya.
c. Memperkuat keyakinan terhadap kebenaran firman Allah.
2. Secara praktis
a. Menambah khazanah ilmu masyarakat.
b. Menambah pemahaman ke-Islaman bahwa Islam sejalan dengan sains

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kehalalan Hewan sebagai Tinjauan Ilmu Pengetahuan Dalam Al Qur’an
Al Qur’an telah menjelaskan bahwa kedudukan ilmu bagi manusia yang beriman adalah hal yang sangat penting. Allah telah memerintahkan kepada manusia untuk belajar membaca dan memahami Al Qur’an sebagai ayat tanziliyah dan secara tidak langsung membaca petunjuk alam ciptaan Allah sebagai ayat kauniyah.
Allah tidak semata-mata menciptakan segala sesuatunya dengan sia-sia. Banyaknya ayat Allah yang memberikan isyarat tentang ciptaan-Nya. Perlu pemahaman dan keinginan untuk mencari hikmah dari ciptaan Allah untuk menjadikan pribadi muslim yang tawadhu dan semakin memikirkan ayat-ayat kauniyah Al Qur’an yang diturunkan sebagai petunjuk dan motivasi untuk kemajuan teknologi seperti yang tercantum pada Al qur’an Surat Ar Rahman ayat 33 :

Artinya : “ Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan ”.

Al Qur’an dapat menjadi suatu rujukan tentang ilmu pengetahuan dan teknologi. Keterbatasan ilmu yang dimiliki manusia seharusnya mendorong setiap orang untuk memahami dan menelaah lebih dalam lagi mengenai ayat-ayat dalam Al Qur’an. Hal ini dijelaskan oleh hadist Riwayat Ibnu Mas’ud r.a.:

”Dia telah menurunkan setiap ilmu di dalam Al Qur’an dan menjelaskan kepadamu tentang segala sesuatu, tetapi ilmu pengetahuan kita tidak memadai untuk memahami semua yang dijelaskan Al Qur’an” (Riwayat Ibnu Abi Hatim).

Salah satu hal penting dari ilmu pengetahuan yang perlu mendapat kajian yang diterangkan Al Qur’an adalah mengenai makanan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa hukum asal (makanan) adalah halal bagi seorang muslim yang beramal sholeh karena Allah SWT tidaklah menghalalkan yang baik-baik kecuali bagi siapa yang akan menggunakannya dalam ketaatan kepada-Nya, bukan dalam kemaksiatan kepada-Nya. Allah SWT menghalalkan semua makanan yang mengandung maslahat dan bermanfaat bagi tubuh manusia. Dalam surat Al-A’raf ayat 157 Allah SWT juga berfirman:

Artinya : “Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”
Makanan yang dianjurkan untuk konsumsi manusia adalah makanan yang halal dan baik (thoyyib). Dua substansi ini merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan seperti yang diterangkan dalam QS. Al Maidah ayat 88:
“Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya (QS Al- Maidah: 88).
Makanan halal adalah makanan yang diijinkan untuk dikonsumsi atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Sedangkan makanan yang baik (thoyyib) adalah makanan yang lezat, baik, sehat dan menentramkan. Makna thoyyib juga berkaitan dengan gizi yang terkandung dalam bahan pangan.
Salah satu sumber makanan bagi manusia adalah pangan hewani. Hewan banyak dikonsumsi sebagai sumber protein yang baik untuk tubuh. Kriteria makanan pada umumnya hanya kembali pada sifat kehalalan dan keharamannya. Makanan yang diharamkan dalam Islam, secara garis besarnya dapat dikategorikan kepada beberapa kriteria sebagai berikut, yaitu bukan terdiri dari atau mengandung bagian atau benda dari binatang yang dilarang oleh ajaran Islam untuk memakannya, atau yang tidak disembelih menurut ajaran Islam, tidak mengandung sesuatu yang digolongkan sebagai najis menurut ajaran Islam dan tidak mengandung bahan penolong dan atau bahan tambahan yang diharamkan menurut ajaran Islam (Hermaninto 2006).
2.2 Bangkai Ikan dan Bangkai Hewan Darat dalam Perspektif Islam
Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam kitabnya Al-Halal wal Haram fil Islam menulis, hukum asal segala sesuatu adalah boleh (al-Ashlu fil asya’ al-ibahah). Disebutkan bahwa hukum asal segala sesuatu yang Allah ciptakan dan manfaatnya adalah halal dalan boleh, kecuali apa yang ditentukan hukum keharamannya secara pasti oleh nash-nash yang shahih dan sharih. Termasuk di dalam hal ini adalah makanan. Hukum asal makanan adalah halal, kecuali yang disebutkan haram seperti yang diterangkan Allah dalam. QS. Al-Maidah ayat 3:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.”

Ayat tersebut menyebutkan secara jelas bahwa hukum memakan bangkai adalah haram. Namun demikian, terdapat pengecualian perihal bangkai ini, yaitu bangkai ikan yang dihalalkan seperti dijelaskan dalam dalil Al Qur’an surat Al Maidah ayat 96 dan An-Nahl ayat 14

Artinya : “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan”

Artinya : “Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur”.

Hal ini juga didukung oleh hadist lain: Rasululah juga pernah ditanya tentang air laut, maka beliau bersabda:
“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (HR. Daraqutni: 538)

Dalil Al Qur’an mengenai kehalalan bangkai ikan ditegaskan oleh salah satu hadist riwayat Ibnu Majah :
“Dari Ibnu Umar berkata: Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah. Adapun dua itu adalah ikan dan belalang, sedangkan dua darah itu adalah hati dan limpa.” (HR. Ibnu Majah)
Jelaslah bahwa bangkai ikan adalah halal menurut alquran dan sunnah. Dengan demikian, konsep kehalalan bangkai ikan menurut Al Qur’an ini telah terbukti sangat relevan dengan ilmu pengetahuan.

2.3 Bangkai Ikan dan Bangkai Hewan Darat Berdasarkan Tinjauan Sains

Sebenarnya makanan yang diharamkan oleh Allah sangatlah sedikit. Walaupun demikian, pada saat teknologi dan sains telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari manusia, maka permasalahan makanan halal menjadi relatif sangat kompleks (Apriyantono et al. 2003).

Hukum haram yang ditetapkan terhadap bangkai hewan juga berhubungan langsung dengan bangkai hewan darat yang pada umumnya harus melalui penyembelihan terlebih dahulu. Menurut Apriyantono et al. (2003), daging bangkai dapat dikenali dari adanya bercak-bercak darah beku yang terkumpul di beberapa bagian. Hal ini terjadi apabila hewan tersebut mati dan tidak melalui penyembelihan, maka darahnya menjadi tidak keluar dan akan terkumpul pada beberapa bagian daging. Hal yang sama bagi hewan yang matinya pun tidak melalui penyembelihan normal, tetapi melalui penusukan jantung misalnya. Hal ini menjadi salah satu alasan tidak diperbolehkannya memakan daging bangkai hewan darat.
Proses metabolisme hewan air jelas berbeda dengan proses metabolisme hewan darat. Semua sisa metabolisme hewan air lebih sedikit dan cenderung netral jika dibandingkan dengan sisa metabolisme hewan darat. Karena jika dikaji, setiap hewan darat walaupun sudah disembelih, pasti masih ada sisa ureum/amoniak di dalam dagingnya yang berkumpul bersama dengan cairan tubuh atau pun pada sisa darah yang tidak mengalir lagi.
Metabolisme merupakan proses biokimia yang berperan dalam penyederhanaan makanan agar mudah diserap oleh tubuh. Ada beberapa macam metabolism yang dibedakan berdasarkan bahan yang dimanfaatkan, antara lain seperti metabolism karbohidarat, metabolisme lemak, dan metabolisme protein. Metabolisme yang berkaitan dengan kajian ini adalah metabolisme protein. Karena berkaitan dengan metabolit yang dihasilkan yaitu berupa ammonia. Ekskresi dapat diartikan sebagai proses pembuangan sisa metabolisme dan benda tidak berguna lainnya. Ekskresi merupakan proses yang ada pada semua bentuk kehidupan.
Zat sisa metabolisme adalah hasil pembongkaran zat makanan yang bermolekul kompleks. Zat sisa metabolisme antara lain, CO2, H20, NHS, NH3, zat warna empedu, dan asam urat. Zat-zat ini sudah tidak berguna lagi bagi tubuh, oleh karena itu langsung dikeluarkan oleh hewan melalui proses eksresi. Sisa metabolisme yang mengandung nitrogen ialah amonia (NH3), urea dan asam urat. Bahan tersebut berasal dari hasil perombakan protein, purin, dan pirimidin. Amonia dihasilkan dari proses deaminiasi asamamino. Amonia merupakan bahan yan sangat racun dan merusak sel. Berdasarkan eksresi amonianya, hewan terbagi menjadi tiga jenis, yaitu amonotelik, ureotelik, dan uricotelik.
Hewan-hewan yang mengekskresikan amonia secara langsung disebut amonotelik. Contoh hewan jenis ini adalah ikan. Bagi hewan yang hidup di darat amonia menjadi masalah untuk kelangsungan hidupnya jika di timbun dalam tubuhnya. Karena itu pada hewan yang hidup di darat amonia segera dirubah di dalam hati menjadi persenyawaan yang kurang berbahaya bagi tubuhnya yaitu dalambentuk urea dan asam urat. Kebanyakan mamalia, amphibi dan ikan mengekskresikan ureadan hewan-hewan tersebut dapat disebut ureotelik. Urea mudah larut dalam air dan diekskresikan dalam cairan yang disebut urine. Pada burung, reptil, keong darat, dan serangga, asam urat yang diekskresikan berbentuk padat bersama kotoran. Hewan ini disebut dengan uricotelik (Isnaeni 2006).
Dengan demikian, pendapat-pendapat diatas menjadi salah satu penguat konsep dan alasan Allah mengenai alasan proses penyembelihan yang harus dilakukan bagi hewan darat dan menghalalkan ikan secara khususnya dan hewan laut pada umumnya, meskipun tanpa proses penyembelihan. Oleh karena itu, konsep bangkai di dalam Al Qur’an ini terbukti sangat relevan dengan ilmu pengetahuan dan memiliki celah untuk dapat dikaji kembali berdasarkan tinjaun syar’i.
2.4 Tinjauan Konsep Thoyyib Untuk Ikan Berdasarkan Proses Kemunduran Mutu Ikan

Walaupun halal, ikan memiliki standar tertentu sehingga masih bisa dikatakan thoyyib untuk dimakan. Karena setelah mati, akan terjadi perubahan-perubahan pada ikan. Segera setelah ikan mati, terjadi perubahan-perubahan yang dapat mengakibatkan penurunan mutu ikan. Penurunan tingkat kesegaran ikan ini terlihat dengan adanya perubahan fisik, kimia dan organoleptik pada ikan yang disebabkan oleh aktivitas enzim, mikroorganisme, fisik dan kimiawi. Urutan proses perubahan yang terjadi setelah ikan mati, meliput perubahan pre rigor, rigor mortis, dan post rigor (Eskin 1990).
Proses perubahan pada ikan setelah mati terjadi karena aktivitas enzim dan mikroorganisme. Kedua hal tersebut menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun. Penurunan tingkat kesegaran ini terlihat dengan adanya perubahan fisik, kimia, dan organoleptik (penilaian) pada ikan. Cepat atau lambatnya kemunduran mutu dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal, yang berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri maupun eksternal yang berkaitan dengan lingkungan dan penanganan. Setelah ikan mati, terjadi berbagai proses perubahan fisik, kimia, dan organoleptik berlangsung dengan cepat. Semua proses perubahan ini akhirnya mengarah kepembusukan (Ilyas 1983). Dengan demikian, dapat dibuktikan mengenai konsep kehalalan dan ke-thoyyib-an ikan.



III. METODE PENULISAN

3.1. Penentuan Gagasan
Karya tulis ini mengambil gagasan dari Al Qur’an surat An Nahl ayat 14 yang menyinggung mengenai fenomena rahasia kehalalan bangkai ikan dibandingkan bangkai hewan darat.

3.2 Kerangka Pemikiran

Metode penulisan diawali dengan penarikan makna tha’aamuhu atau hewan laut yang di campakkan ke darat oleh laut dalam keadaan telah mati dalam Al Qur’an Surat Al Maidah ayat 96. Pembahasan diarahkan pada studi komparatif kehalalan bangkai ikan dan bangkai hewan darat. Pembahasan diarahkan pada karakteristik bangkai ikan yang dipengaruhi oleh aspek metabolisme dan kondisi fisiologis sehingga memiliki perbedaan dengan bangkai hewan darat. Kedua faktor tersebut akan menyusun dan mempengaruhi ke-thoyyib-an bangkai ikan khususnya. Akhir penjelasan akan dijelaskan mengenai hikmah dan manfaat bangkai ikan sebagai pangan halal sebagai salah satu kandungan Al Qur’an yang membahas tentang ilmu pengetahuan dan dapat dibuktikan secara ilmiah (sains).
3.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder yang berasal dari literatur-literatur yang ada seperti buku, jurnal, internet, kitab-kitab Hadist dan tulisan lain yang terkait dengan topik pembahasan.

3.4. Metode Analisis Data
Data dan informasi yang diperoleh dianalisis dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Masalah yang ada diselaesaikan dengan cara beruntun, yaitu mengidentifikasi masalah, menganalisis dan menentukan solusi pemecahan masalah berdasarkan studi pustaka yang komparatif terhadap data.

3.5. Penarikan Kesimpulan dan Saran
Tahap akhir penulisan ini adalah penarikan kesimpulan dari pembahasan yang dilakukan serta penyampaian saran-saran yang diperlukan berkaitan dengan permasalahan yang ada.

IV. PEMBAHASAN

4.1 Hewan Darat dan Hewan Laut dalam Al Qur’an
Berdasarkan habitatnya, hewan terbagi menjadi dua macam, yaitu hewan darat dan hewan laut. Hewan-hewan darat yang boleh dimakan adalah hewan yang bisa ditangkap, seperti hewan ternak dan hewan jinak serta hewan yang tidak dapat ditangkap, sedangkan hewan laut adalah hewan yang hidup dalam air dan semuanya halal. Dimanapun dia berada, baik yang di ambil dari dari dalam air dalam keadaan hidup maupun sudah menjadi bangkai, baik terapung maupun tidak, baik ikan maupun bukan ikan, terlepas yang menangkap adalah muslim atau non muslim, (Qardhawi 2000).
Allah memberi keleluasaan dengan memperbolehkan semua hewan laut, tanpa mengharamkan suatu jenis tertentu dan tanpa mensyaratkan penyembelihan seperti hal binatang lainnya. Bahkan Allah menyuruh manusia untuk membunuh dan mempergunakannya sesuai dengan keperluannya, dengan tidak menyakiti sedapat mungkin.
Al Qur’an menyebutkan diperbolehkannya ikan sebagai makanan halal dalam Al Qur’an yang dijelaskan dalam Surat Al Maidah ayat 96:
•                 •     

Artinya : “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan”.

Berdasarkan kitab Ibnu Katsir Jilid 3 dijelaskan bahwa kata   “binatang buruan laut” adalah binatang yang ditangkap dalam keadaan hidup dan ditegaskan pula bahwa buruan laut merupakan binatang yang diperoleh dengan jalan usaha mengail, menangkap baik dari sungai, danau ataupun kolam. Selanjutnya Allah menerangkan kata sedangkan kata  yaitu “makanan yang berasal dari laut” yang merupakan makanan yang berasal dari laut yaitu binatang laut yang di ambil dalam keadaan telah mati, yaitu hewan laut yang dicampakkan ke darat oleh laut dalam keadaan telah mati, hal ini berarti juga bahwa yang dimaksud arti kata ta ‘amuhu adalah bangkai ikan.
Ibnu Abbas dalam Qardhawi (2000) berkata yang dimaksud tha’aamuhu (makanannya) adalah bangkainya (bangkai binatang laut). Sedangkan menurut Bukhari Muslim, At-Tirmidzi dan An-Nasai dalam Shihab (1999) menegaskan kembali bahwa tha’aamuhu adalah ikan dan sejenisnya yang diperoleh dengan mudah karena telah mati sehingga mengapung. Nabi Saw. bersabda:
“Makanan dari laut ialah sesuatu yang dicampakkan oleh laut dalam keadaan mati”.
Penjelasan mengenai diperbolehkannya memakan ikan baik yang masih hidup ataupun sudah menjadi bangkai ikan dipertegas Allah dalam Al Qur’an Surat An Nahl ayat 14.
                     
Artinya : “Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur”.
Berdasarkan kitab Ibnu Katsir Jilid 5 dijelaskan bahwa kata  " agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan)” yaitu merupakan ikan besar dan ikan kecil di dalam lautan dan menjadikan dagingnya halal, baik yang hidup ataupun mati.
Arti kata bangkai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tubuh yg sudah mati (biasanya untuk binatang). Lebih jelasnya bangkai adalah semua hewan yang mati tanpa penyembelihan dan juga bukan hasil perburuan atau ikan yang mati begitu saja dengan sebab-sebab kematian seperti kedinginan, hanyut, atau yang lainnya. Bangkai ikan juga dapat disebabkan mati karena hanyut oleh ombak atau keringnya air sungai, atau karena suatu musibah yang bukan akibat ulah manusia. Jika ditemukan telah menjadi bangkai dengan cara apa saja, maka ia halal dan suci.
Perbedaan mendasar yang dapat dijadikan alasan dalam perbedaan hukum makanan yang bersumber dari hewan laut (akuatik) dan hewan darat (terestrial) adalah dari segi metabolisme dan fisiologinya. Segi metabolisme dikaji berdasarkan zat-zat buangan yang dihasilkan. Sedangkan dari segi fisiologi dikaji berdasarkan sistem eksresi.
Metabolisme menghasilkan zat sisa yang harus dieksresikan keluar tubuh. salah satu zat sisa metabolesme adalah amoniak. Ammonia bersifat toksik bagi tubuh manusia. Amonia mengeksresikan racun pada berbagai tingkatan. Bahaya ammonia bagi tubuh antara lain: memodifikasi sifat-sifat penghalang darah dan otak, mengganggu transportasi asam amino, mengganggu aliran darah cerebral, menghambat rangsang neurotransmiter metabolisme asam amino, terutama yang dari glutamat dan aspartat dan menyebabkan perubahan morfologi astrosit dan neuron. Ion ammonia dapat menginterupsi konduksi saraf dengan langsung menggantikan K+ pada mekanisme ion exchange. Selain itu, amonia dapat mengubah metabolisme karbohidrat dan lemak, serta kadar ATP, tidak hanya di otak, tapi juga pada jaringan lain. Hal inilah yang memungkinkan menjadi sebab kenapa hewan darat yang diperbolehkan untuk dijadikan sumber makanan perlu disembelih terlebih dulu untuk menjadikannya makanan yang halal.
Dalam ikan teleostei, konsentrasi plasma amoniak total dapat bervariasi antara 0,05 dan 1 mmol l 21 (mis. Wright et al 1993.). padahal, tingkat amonia darah lebih besar dari 0,05 mmol l21 dapat menjadi racun(bersifat toksik) bagi sistem saraf pusat kebanyakan mamalia (Meijer et al. 1990).
Proses metabolisme dalam tubuh hewan diproses melalui organ tertentu. Pada ikan, jaringan hati merupakan organ besar yang mempunyai sistem khusus dalam mengolah asam amino dan menyimpan protein dalam jumlah besar. Akan tetapi, jumlah protein yang di simpan dalam tubuh ikan tetaplah terbatas. Jika telah mencapai batasan itu, maka penambahan asam amino dalam cairan tubuh dipecahkan dan digunakan untuk energi atau disimpan sebagai lemak. Degradasi ini hampir seluruhnya terjadi di dalam hati yang dimulai dengan proses deaminasi dan diekskresi sebagai amoniak (NH3). Amoniak yang dilepaskan pada saat deaminsasi dikeluarkan dari darah hampir seluruhnya dalam bentuk urea (Fujiyana 2004).
Keberadaan amoniak yang beracun dalam darah serta besarnya volume darah pada hewan ternak dibandingkan dengan ikan menyebabkan perlunya ada proses pembuangan darah dalam tubuh hewan tersebut agar amonia dalam darah juga terbuang. Pembuangan darah tersebut dilakukan dengan cara penyembelihan, yaitu pemotongan urat-urat nadi pada bagian leher hewan. Bagian ini merupakan bagian yang potensial dalam sistem peredaran darah. Sehingga dengan dilakukannya penyembelihan pada bagian ini, sebagian besar darah yang sedang mengalir di dalam tubuh dapat dikeluarkan dengan baik.
Seperti halnya pada ikan, metabolisme pada hewan ternak juga memiliki prinsip yang sama, degradasi protein (katabolisme) menghasilkan asam amino. Kemudian asam-asam amino tersebut dilepas gugus aminonya melalui deaminasi oksidatif di sel-sel hati. Hasil dari proses deaminasi tersebut adalah ammonia (NH3) yang selanjutnya berperan dalam pembentukan urea (Frandson 1983) dan menjadi pembeda proses selanjutnya antara ikan dan hewan terestrial (hewan ternak).
Pada hewan air amonia menjadi metabolit yang langsung diekskresikan oleh ikan ke lingkungannya, sehingga ikan disebut sebagai hewan ammonotelic. Berbeda dengan hewan terestrial yang terlebih dulu menjadikan amonia sebagai bahan pembentuk urea atau asam urat untuk diekskresikan, sehingga hewan disebut sebagai hewan ureotelic (hewan darat secara umum) atau uricotelic (pada unggas). Perbedaan ini disebabkan oleh sifat amonia yang sangat larut dalam air dan relatif mudah meresap dalam membran sel. Tetapi meskipun kelarutan amonia di air cukup tinggi, tetap diperlukan 400 ml air oleh hewan untuk melarutkan setiap gram amonia agar konsentrasinya tetap dalam batas yang tidak menyebabkan toksik (Wright 1995). Sehingga bagi hewan darat, amonia dapat menjadi masalah untuk kelangsungan hidupnya jika ditimbun dalam tubuh. Karena itu amonia segera ditranportasikan oleh darah dalam bentuk glutamin sebelum akhirnya dirubah di dalam hati menjadi persenyawaan yang kurang berbahaya bagi tubuhnya yaitu dalam bentuk urea dan asam urat untuk di ekskresikan. Urea atau asam urat dapat terkonsentrasi lebih banyak dalam tubuh dibandingkan ammonia tanpa bersifat toksik (Wright 1995).


Gambar 2. Perbedaan siklus metabolisme pada beberapa hewan
Sumber : Wright (1995)
Amonia tersebut akan terkonsentrasi di dalam darah dan di transportasikan menuju ginjal untuk kemudian diekskresikan (Frandson 1983). Ini artinya darah yang belum masuk ke dalam ginjal masih membawa bahan beracun amonia.
Berdasarkan perbedaan proses dan hasil metabolisme di atas, maka jenis bangkai hewan yang dihalalkan adalah ammonotelic, yaitu jenis hewan akuatik (ikan) yang menjadikan amoniak sebagai metabolit yang dieksresikan. Sedangkan jenis hewan yang diharamkan bangkainya adalah uricotelic dan ureotelic, yaitu hewan terestrial yang menjadikan urea atau asam urat sebagai metabolit yang diekskresikan.
Itulah keistimewaan yang Allah berikan pada salah satu makhluk-Nya. Bukan tanpa alasan Allah menjadikan ikan sebagai sumber makanan yang halal walaupun statusnya sudah menjadi bangkai. Berbeda dengan hewan darat yang diperbolehkan dan menjadi halal setelah adanya prosesi penyembelihan. Sedikit atau banyak Allah menyimpan hikmah dalam dalam setiap ciptaan-Nya. Berdasarkan tinjauan ilmiah dapat dijelaskan alasan-alasan yang menjadikan ikan tetap halal dalam kondisi bangkai sekalipun.
4.2 Konsep Thoyyib Berdasarkan Kemunduran Mutu Ikan

Dalam Al Qur’an, Allah menjelaskan kata , “agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan)” yaitu merupakan daging dari ikan besar dan ikan kecil di dalam lautan dan menjadikan dagingnya halal, baik yang hidup ataupun mati. Menurut Irawan (1995), ikan yang masih segar berarti belum mengalami perubahan-perubahan biokimiawi, mikrobiologi, maupun fisikawi yang dapat menyebabkan kerusakan berat pada daging ikan. Hal ini dikaitkan dengan tingkat kesegaran ikan yang tentunya memiliki suatu batasan dan kadar tertentu untuk dapat dikonsumsi dan dimanfaatkan. Berdasarkan tinjauan ilmiah, proses kemunduran mutu ikan hingga menjadi tahapan bangkai ikan memiliki jangka waktu tertentu dengan adanya perubahan fisika, kimia dan biologis pada ikan.
Proses perubahan pada ikan setelah mati terjadi karena aktivitas enzim dan mikroorganisme. Kedua hal tersebut menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun. Penurunan tingkat kesegaran ini terlihat dengan adanya perubahan fisik, kimia, dan penilaian pada ikan. Cepat atau lambatnya kemunduran mutu dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal, yang berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri maupun eksternal yang berkaitan dengan lingkungan dan penanganan. Setelah ikan mati, terjadi berbagai proses perubahan fisik, kimia, dan organoleptik berlangsung dengan cepat. Semua proses perubahan ini akhirnya mengarah kepembusukan (Ilyas 1983). Urutan proses perubahan yang terjadi setelah ikan mati menurut Eskin (1990) meliputi perubahan pre rigor, rigor mortis, dan post rigor.
Fase pre rigor merupakan tahap perubahan pertama yang terjadi ketika ikan mati. Pada fase ini terjadi peristiwa terlepasnya lendir dibawah kelenjar permukaan kulit ikan yang sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan musin yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri. Lendir tersebut terdiri dari gluko protein dan merupakan substrat yang baik bagi pertumbuhan bakteri (Eskin 1990). Gopakumar (2000) memaparkan bahwa segera setelah ikan mati, suplai oksigen dalam jaringan berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat. Hal ini mengakibatkan pH tubuh ikan menurun, diikuti pula dengan penurunan jumlah adenosine triposfat (ATP).
Perubahan tahapan kemunduran mutu ikan selanjutnya adalah rigor mortis yang merupakan fase saat sirkulasi darah berhenti, suplai oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat (Eskin 1990). Landrat et al (2004) menambahkan bahwa pada akhir fase rigor mortis, kegiatan bakteri pembusuk dengan enzimnya makin meningkat dan setelah melewati fase rigor (badan ikan mulai menjadi lembek) kecepatan pembusukan atau kemunduran mutu makin meningkat.
Fase terakhir kemunduran mutu ikan adalah fase post rigor yang ditandai dengan mulai melunaknya kembali otot ikan secara bertahap (Wang et al.1998). Menurut Gill (2000), proses pembusukan ikan ditandai dengan terbentuknya senyawa-senyawa basa volatil. Kebusukan merupakan proses akhir dari fase post rigor yang biasanya otot ikan benar-benar mengalami pelunakan. Komponen utama senyawa volatil yang berperan dalam tahap kebusukan ikan adalah amoniak (NH3), TMA dan dimetil amina (DMA). ATP juga berperan dalam penambahan jumlah amoniak pada amin volatil setelah kematian ikan (Yunizal dan Wibowo 1998).
Fase kemunduran mutu pada ikan biasanya memiliki pola jam tertentu. Menurut Farber (1965), waktu yang dibutuhkan selama fase pre rigor, dimulai saat penyimpanan ke-0 jam hingga ke-2 jam, kemudian dilanjutkan dengan rigor mortis pada ke-3 jam hingga ke-8 jam, fase post rigor terjadi pada ke-9 jam hingga penyimpanan ke-11 jam, pada penyimpanan ke-11 jam dan diatasnya mengalami proses pembusukan yang berlangsung cepat. Dasar perubahan yang terjadi setelah kematian ikan disajikan secara ringkas dalam Gambar X.
Gambar X menunjukan bahwa peredaran darah terhenti setelah ikan mati, sehingga selanjutnya berlangsung serangkaian perubahan yang sangat kompleks dalam otot. Makin banyak darah yang hilang dari tubuh ikan dapat meningkatkan umur simpan dan kualitas daging yang dihasilkan karena darah adalah media yang baik bagi pertumbuhan mikrobia pembusuk. Pengaruh yang cepat dari berhentinya peredaran darah dan penghilangan darah dari jaringan otot adalah kurangnya pemasukan oksigen ke dalam jaringan. Akibatnya jaringan tidak mampu membentuk kembali ATP, karena mekanisme transport elektron dan fosforilasi oksidatif segera terhenti (Tranggono dan Sutardi 1990).


Gambar 3. Dasar perubahan yang terjadi setelah kematian ikan
Sumber : Tranggono dan Sutardi (1990)

Kesegaran bisa dicapai bila dalam penanganan ikan berlangsung dengan baik. Menurut Eskin (1990), nilai total volatile base (TVB) hasil dapat dijadikan sebagai indeks kesegaran ikan semenjak basa volatil terakumulasi dalam daging ikan sampai dengan tahap akhir pembusukan. TVB merupakan salah satu metode penentuan kesegaran ikan yang dilakukan secara kimiawi dengan proses destilasi uap basa-basa volatil terhadap pada ikan.. Batas penerimaan masa (waktu) pembusukan ikan dapat dipengaruhi oleh perbedaan spesies ikan (Soekarto 1990). Tingkat kesegaran hasil perikanan berdasarkan TVBN dikelompokkan menjadi empat (Farber 1965), yaitu:
- ikan sangat segar dengan kadar TVBN 10 mg N/ 100 g atau lebih kecil;
- ikan segar dengan kadar TVBN sebesar 10-20 mg N/100 g;
- ikan yang berada pada garis batas kesegaran yang masih dapat dikonsumsi dengan kadar TVBN 20-30 mg N/100 g;
- ikan busuk yang tidak dapat dikonsumsi dengan kadar TVBN lebih besar dari
30 mg N/100 g.
Walaupun dalam keadaan bangkai yang halal, ikan masih mempunyai batasan kondisi yang dapat dikatakan baik untuk dikonsumsi sehingga tidak hanya menjadi makanan yang halal, tetapi juga merupakan makanan yang thayyib. Adapun batas penerimaan ikan ditinjau dari kandungan TVB, yakni sebesar 20-30 mg N/100 g ikan. Selain penentuan jumlah TVB tersebut, tingkat kesegaran ikan dapat ditentukan dengan jangka waktu dalam fase kemunduran mutu sebelum mencapai tingkat kebusukan, yakni tidak melebihi waktu penyimpanan ikan selama 9 jam agar menjadi salah satu criteria pemilihan pangan yang halal dan baik.
Allah telah menjelaskan dalam potongan Al Qur’an Surat Al A’raf ayat 157,
“Dan Allah menghalalkan bagi mereka segala yang baik”, yaitu melalui suatu kajian dan penelitian terhadap kethoyyiban segala sesuatu agar dapat dimanfaatkan dengan baik. Melalui metode inilah dapat diketahui pemahaman mengenai batasan kehalalan dan kethoyyiban bangkai ikan menjadi suatu referensi bagi manusia yang berakal untuk menggali kandungan dan rahasia kehalalan bangkai ikan .

4.3 Hikmah dan Manfaat Bangkai Ikan sebagai Pangan dan Rizki yang Halal
Allah telah memberi nikmat yang begitu luas kepada para makhluknya dengan hamparan hasil bumi dan laut yang melimpah. Diantara nikmat-nikmat itu adalah makanan yang halal dan baik untuk dikonsumsi dan menjaga keberlangsungan hidup sehat lahir dan bathin. Kualitas makanan yang dikonsumsi dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup dan perilaku makhluk hidup itu sendiri. Oleh karena itu, setiap makhluk hidup harus berusaha untuk mendapatkan makanan yang halal dan baik seperti Firman Allah yang dinyatakan dalam Al Qur’an Surat Al Maidah ayat 88:
       •      

Artinya : “Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya (QS Al- Maidah: 88).

Dibalik kehalalan ikan dalam kondisi apapun, ternyata Allah SWT menjadikan ikan sebagai bahan makanan yang sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia dengan kandungan gizi yang dimilki oleh ikan. Kelebihan ikan dibanding dengan hewan lainnya adalah absorpsi protein ikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk hewani lain seperti daging sapi dan ayam karena daging ikan mempunyai serat-serat protein lebih pendek dari pada serat-serat protein daging sapi atau ayam.
ikan merupakan bahan pangan yang sangat baik mutu gizinya, karena mengandung kurang lebih 18 gram protein untuk setiap 100 gram ikan segar, sedangkan ikan yang telah dikeringkan dapat mencapai kadar protein 40 gram dalam 100 gram ikan kering. Jenisnya pun sangat beragam dan mempunyai beberapa kelebihan, diantaranya adalah mengandung omega 3 dan omega 6, dan kelengkapan komposisi asam amino (Pandit 2008 dalam Meliala 2009). Kebutuhan Omega 3 ternyata menunjukan peringkat ke-3 di dunia dibandingkan kebutuhan zat gizi lainnya seperti pada Gambar 3.

Gambar 4. Peringkat kebutuhan Omega 3 di dunia
Sumber : Alasalvar et al (2002)

Berdasarkan Gambar 4, data kebutuhan omega 3 di dunia menunjukan bahwa kebutuhan omega 3 dalam kandungan gizi ikan sangat diperlukan oleh tubuh masyarakat dunia, diantaranya seperti data yang ditunjukan oleh kebutuhan omega 3 pada Amerika bagian utara sebesar 21 %, Eropa selatan sebesar 15 %, Eropa dan Amerika Selatan sebesar 7 %, serta kebutuhan omega 3 ikan pada eropa Nordic sebesar 20%. Oleh karena itu mutu protein pada ikan cukup sebanding dengan mutu protein pada daging lainnya. Astawan (2004) dalam Meliala (2009) menambahkan bahwa dibandingkan dengan bahan makanan lainnya, ikan mengandung asam amino essensial yang sangat lengkap kaya akan gizi lainnya bagi dunia. Selain mengandung protein, ikan yang kaya akan mineral seperti kalsium, phospor yang diperlukan untuk pembentukan tulang, serta zat besi yang diperlukan untuk pembentukan haemoglobin darah. Sementara kandungan lemak pada ikan sebesar 70% terdiri dari asam lemak tak jenuh (unsaturated fatty acid), sedangkan pada daging sebagian besar terdiri dari asam lemak jenuh (saturated fatty acid) (Marsetyo dan Kartasapoetra, 2003 dalam Meliala 2009).
Kualitas ikan merupakan bahan pertimbangan bagi orang yang akan mengkonsumsi atau membeli ikan. Dengan batasan tersebut, faktor pembatas kualitas dapat menakup nilai gizi atau nutrisi, tingkat kesegaran, kerusakan selama transportasi, penanganan, pengolahan, penyimpanan, distribusi, dan pemasaran serta hal-hal lain seperti bahaya terhadap kesehatan dan kepuasan untuk mengkonsumsinya (BPTP 2009). Lamanya kesegaran ikan adalah durasi ikan dapat diterima oleh konsumen. Ikan pada kondisi akhir post rigor dapat dijadikan pakan hewan dan ikan pada kondisi busuk dijadikan pupuk (Konogaya1990). Hubungan kesegaran ikan dengan penggunaan dan pemanfaatan ikan dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Hubungan kesegaran ikan dengan bentuk olahan
Sumber : (Konogaya 1990)

Berdasarkan diagram pada Gambar 5, dapat dilihat bahwa ikan yang baru saja mati dapat dijadikan bahan baku pembuatan makanan olahan pangan segar, sedangkan ikan yang memasuki tahap rigor mortis pada umumnya dimanfaatkan menjadi makan yang langsung diolah (dimasak) dan produk makanan dengan jenis-jenis produk turunannya (Gambar 5). Ikan pada fase post rigor biasanya dilakukan pengolahan menjadi by product (produk sampingan), seperti minyak ikan, tepung ikan dan jenis lainnya. Ketika ikan telah mengalami kebusukan, maka hasil limbah ikan busuk tersebut masih dapat dimanfaatkan menjadi pakan ternak ikan atau lainnya dan produk fertilizer dapat dihasilkan pada kondisi rigor off.
Allah SWT telah menerangkan secara jelas dalam potongan ayat Al Qur’an Surat Ali Imran ayat 191 :
        •
Artinya :”Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”

Berdasarkan potongan ayat tersegut, jelaslah bahwa tidaklah mungkin Allah SWT tidak menciptakan segala sesuatu dengan sia-sia. Hal ini dapat ditunjukan oleh adanya hikmah dari sisi teknologi dari beberapa pemanfaatan pengolahan bahan baku ikan utama, bahkan pemanfaatan hasil sampingnya yang tanpa limbah dapat menghasilkan produk olahan dan produk sampingan yang masih dapat bermanfaat bagi manusia dan mahluk hidup lainnya (Gambar 6).

Gambar 6. Diagram pemanfaatan teknologi pengolahan produk ikan tanpa limbah
Sumber : (Riyanto dan Trilaksani 2008)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Bangkai hewan adalah haram menurut al Qur’an, namun bangkai ikan memiliki keistimewaan, yaitu hukum bangkai ikan adalah halal berdasarkan Al Quran Surat An Nahl ayat 14 dan Al Maidah ayat 96 dan didukung oleh Al Hadist. Rahasia kehalaan bangkai ikan karena sisa metabolisme berupa amonia tidak beredar dalam darah seperti hewan lainnya yang diharamkan dieksresikan langsung keluar tubuh oleh ikan. Amonia bersifat toksik dan membahayakan kesehatan manusia. Sekalipun halal, tidak semua bangkai baik (thoyyib) jika dimakan oleh manusia. Hal ini berkaitan dengan proses kemunduran mutu ikan yang terjadi setelah ikan mati. Ikan yang masih baik dimakan adalah ikan yang barada keadaan segar, dan maksimal ikan berada pada fase awal post rigor. Hal ini karena kadar amin yang dihasilkan masih bisa diterima oleh tubuh. Selain memiliki banyak manfaat sebagai makanan halal dan bergizi, limbah ikan yang sudah menjadi bangkai juga memiliki banyak manfaat yang bisa dikembangkan.

5.2 Saran
Pembuktian secara ilmiah bangkai ikan sebagai pangan halal yang tercantum dalam Al Qur’an surat An Nahl ayat 14 dan Al Maidah ayat 96 sebaiknya banyak dipublikasikan dalam bentuk-bentuk tulisan seperti jurnal, majalah, serta media publikasi lainnya yang bisa dijangkau oleh semua pihak baik dalam skala nasional maupun internasional. Sehingga harapannya pemahaman masyrakat yang berorientasi pada pemikiran ilmiah dapat terbuka hatinya akan adanya kebenaran yang hakiki.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Bin Muhammad bin Abdurrahman Alu Syaikh. Penerjemah : M. Abdul Ghoffar. 2009. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3 dan 5: Jakarta : Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i

Alasalvar C dan Taylor T. 2002. Seafoods-Quality, Technology, and Nutraceutical Applications. Springer-Herlag Berlin Heidelberg New York

Apriyantono A, Hermanianto J, Nurwahid. 2003. Halal Assurance System in Food Production. Departmen of Agriculture Republic of Indonesia.

[BPTP] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. 2009. Metodologi Perikanan. www.geocities.com. [5 April 2011].

Departemen Agama Republik Indonesia. 1990. Al Qur’an dan Tafsirnya Jilid 5 Juz 13-15. Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf.

Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Foods. Second edition. San Diegor Academic Press. Inc.

Farber L. 1965. Freshness test. Di dalam: Borgstorm G, editor. Fish as Food Vol IV. New York: Academic Press.
Fujaya Y. 2004. Fisiologi Ikan. Jakarta: Rineka Cipta

Frandson. 1983. Anatomi dan Fisiologi Ternak. (Terjemahan). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Institut Pertanian Bogor.

Gil M, Hortos M, Sarraga C. 1998. Calpain and cathepsin activities, and protein extractability during ageing of Longissimus porcine muscle from normal and PSE meat. Food Chemistry 63 : 385-390.

Gopakumar K. 2000. Enzymes and Enzymes Product as Quality Indices. Di dalam: Haard NF dan Simpson BK, editor. Seafood Enzymes Utilization and Influence on Postharvest Seafood Quality. New York: Marcel Dekker, Inc. Hlm 337-363.

Hermaninto, J. (2006). Tinjauan Titik Kritis Halal-Haram Produk Olahan Daging. Food Review Indonesia Vol.1 No 9. Bogor.


Ilyas S. 1983. Teknologi Refrigrasi Hasil Perikanan. Jakarta: CV. Paripurna.

Irawan HSR. 1995. Pengawetan Ikan dan Hasil Perikanan. Solo : CV Aneka.

Isnaeni W. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Kanisius.

Konagoya. 1990. Keeping of freshness of wet fish. Di dalam: Motohiro T et.al, editor. Science of Processing Marine Food Products. Volume 1. Hyogo: Japan International Cooperation Agency.

Landrat CD, Bagnis VV, Noel J, Fleurence J. 2004. Proteolytic potential in white muscle of sea bass (Dicentrarchus labrax L.) during post mortem storage on ice : time-dependent changes in the activity of the components of the calpain system. Food Chemistry 84 : 441-446.

Mahawarta. 2009. Kenapa Bangkai Hewan Laut Halal. http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:zdW1PkuD6_UJ:mahawarta.wordpress.com/2009/08/15/. [10 April 2011].

Meliala. 2009. Konsumsi ikan dan kontribusinya terhadap kebutuhan protein pada keluarga nelayan di lingkungan IX Kelurahan Labuhan Deli Kecamatan Medan Marelan. [Skripsi]. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Rasjid Sulaiman. 2008. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Riyanto B, Trilaksani W. 2008. Diversifikasi dan Pengembangan Produk Perairan. [Artikel]. Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor.

Shihab Quraisy. 1999. Wawasan Al Qur’an. Bandung : Penerbit Mizan

Soekarto ST. 1990. Dasar-dasar Pengawasan Standarisasi Mutu Pangan. Bogor : IPB Press.
Tranggono dan Sutardi, 1990, Biokimia dan Teknologi Pasca Panen dan Gizi Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Qardhawi Yusuf . 2000. Halal dan Haram dalam Islam. Jakarta : Robbani Press.

Wang D, Jang T, Correia L.R, Gill T.A.1998. Postmortem changes of cultivated atlantic Salmon and their effects on salt uptake. Journal of Food Science. Vol 63 (4): 635.

Webb DW, EE Bartley, dan RM Meyer. 1972. A comparison of nitrogen metabolism and ammonia toxicity from ammonium acetate and urea in cattle. Journal of Animal Science. Vol. 35: 1263-1270.

Wright P A. 1995. Nitrogen Excretion: Three End Products, Many Physiologycal Roles. The Journal of Experimental Biology. Vol- (198) : 273-281.

Yunizal dan Wibowo S. 1998. Penanganan Ikan Segar. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembanagn Perikanan

No comments:

Post a Comment