Adanya ragam teori ilmiah membantu
kita untuk memahami maksud hadits yang tersembunyi. Tetapi hal itu tidak
boleh lahir atas dasar inferior kita terhadap sains, sehingga terkesan
memaksakan pemahaman. Karena kebenaran agama itu mutlak, sedangkan
kebenaran sains itu relatif. Sehingga
mukjizat yang terdapat dalam sunah yang terungkap melalui ilmiah modern
semakin menunjukan kebenaran hadits-hadits Nabi tersebut dari segi
keotentikannya, maupun kebenaran isinya. Sebetulnya Al Quran maupun
hadis memiliki makna-makna tersembunyi yang harus melalui penafsiran
yang menyeluruh sehingga pesan tersirat Al Quran dan hadis yang membahas
tentang sains terbongkar. Dengan cara ini, agama dan sains sebetulnya
berjalan seimbang. Dalam artikel ini akan dibahas mengenai kehalalan
bangkai laut.
Yang dimaksud bangkai laut di sini adalah ikan dan sejenisnya yang hidup di laut kemudian mati. Lantas muncul pertanyaan: bangkai laut halal?
Ada dua binatang yang dikecualikan dalam Islam dari katagori bangkai,
yakni belalang dan ikan atau bermacam binatang yang hidup dalam air.
Dalam hal ini, Rasulullah saw saat ditanya mengenai masalah air laut, maka Rasulullah menjawab: هو الطهور ماؤه الحل ميتتة ( رواه احمد واصحاب السنه ). Artinya: “Laut itu airnya suci dan bangkainya halal.”
Dalam firman Allah melalui Al Quran mengatakan:
واحل لكم صيد البحر وطعامه ( المائدة 96 )
Artinya: "Dihalalkan bagimu atas binatang laut beserta makanannya.”
Dalam hal ini, Umar bin Khattab juga
berkata: “Yang dimaksud shaiduhu yaitu semua binatang yang diburu
sementara yang dimaksud tha’amuhu (makanannya) yaitu barang yang
dicarinya.
Ibnu Abas juga mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tha’amuhu adalah bangkainya.
بعثنا رسول الله ثلاث مائة راكب
اميرنا ابو عبيدة بن الجراح نرصد عير قريش فاقمنا بالساحل نصف شهر فاصابنا
جوع شديد حتى اكلنا الخبط فسمى ذلك الجيش . جيش البط . فالقى لنا
البحردابة. يقال لها العنبر , فاكلنا منه نصف شهر. وادهنا من ودكه .حتى
ثابت الينا اجسامنا. فاخذ ابو عبيدة ضلعا من اضلاعه فنصبه. فعمد الى اطول
رجل منه. واخذ رجلا وبعيرا فمرتحته قال جابر .وكان رجل من القوم نحر ثلاث
جزائر ثم نحر ثلاث جزائر ثم نحر ثلاث جزائر ثم ان ابا عبيدة نهاه
Artinya: “Rasulullah mengutus kami
sebanyak 300 orang penunggang kuda Amir kami adalah Abu Ubaidah ibn Al
jarroh kami mengintai kafilah Quraisy. Lantaran itulah kami berkemah di
tepi laut selama setengah bulan, lalu kami ditimpa kelaparan hebat yang
membuat kami makan daun kertau. Dan karena itu pula tentara itu
dinamakan pasukan daun kertau. Kemudian laut menampakan seekor binatang
yang disebut sebagai ombar (baca: ikan paus), kami memakannya selama
setengah bulan dan kami meminyaki tubuh kami dengan minyak (ikan).
Lantaran itulah tubuh kami kembali seperti semula.
Kemudian Abu Ubaidah mengambil
sekerat tulang rusuk ombar (baca: ikan paus) itu dan memancangkannya
lantas beliau menuju orang yang paling panjang dari orang yang berada
besertanya, serta mengambil seorang laki-laki dan ontanya lalu beliau
berlalu dibawahnya, Kata
Jabir ada seorang lelaki dari pasukan itu yang telah menyembelih tiga
ekor unta kemudian Abu Ubaidah melarangnya menyembelih unta."
Menurut riwayat Imam Muslim pada
mula-mulanya Abu Ubaidah melarang mereka memakan ikan paus lantaran
dianggap bangkai. Kemudian beliau membolehkanya atas dasar terpaksa,
sekembalinya mereka ke kota Madinah diberitakan hal itu kepada Nabi
Muhammad saw. Maka Nabi Muhammad saq meminta sedikit sisa daging paus
itu untuk menegaskan bahwa daging paus itu halal walaupun waktu ikan
paus ditemukan dalam keadaan mati.
Dan dalam hadis yang diriwayatkan
Imam Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdullah dapat diperoleh kisah
bahwa Rasulullah saw pernah mengirimkan suatu angkatan yang akhirnya
mereka mendapatkan seekor ikan besar yang sudah menjadi bangkai ikan,
kemudian dimakanlah bangkai ikan itu selama 20 hari lebih. Setelah
mereka tiba di Madinah, maka hal tersebut diceritakan kepada Nabi
Muhammad saw.
كلوا رزقا اخرجه الله لكم اطعمون ان كان معكم فاتاه بعضهم بشئ فاكله ( البخار )
"Makanlah rejeki yang Allah
keluarkan untuk kamu. Berilah aku bila kamu ada sisa. Lantas salah
seorang di antara mereka ada yang memberinya sedikit. Kemudian Nabi
(Muhammad saw) memakannya.” Para
ahli menjawab pertanyaan ini bahwa ikan memiliki keistimewaan khusus
oleh Allah swt, yakni apabila ikan ditangkap dan keluar dari laut lalu
mati, maka darahnya terkumpul di jakun, seolah-olah disembelih. Ini
menjadi salah satu dari tanda kenabian Nabi Muhammad Saw bahwa Nabi
Muhammad tidak berbicara menggunakan hawa nafsu, melainkan berdasarkan
wahyu disertai dengan logika syariat yang berdasarkan sains, meskipun
saat ini istilah sains tidak tampak. Ikan dan belalang merupakan dua binatang yang halal bangkainya karena keduanya tidak mungkin untuk disembelih.
Ibnu Abi Aufa mengatakan:
غرونا مع رسول الله سبع غزوات نأكل معه الجراد
Artinya: "Kami pernah berperang
bersama Nabi (Muhammad) sebanyak tujuh kali peperangan, lalu kami makan
belalang bersama beliau."
Sesuatu yang menyebabkan penyakit
dalam tubuh seringkali berasal dari darah. Apalagi jika darah itu dalam
jumlah yang banyak dalam bangkai hewan yang mati tidak dipotong atau
disembelih, darah akan menetap dalam salurannya dan susah untuk keluar.
Sedangkan pada ikan, Allah memberikan keistimewaan yang tersendiri,
yaitu apabila ikan ditangkap dan keluar dari laut, lalu mati, niscaya
darah-darahnya akan terkumpul dijakun, seolah-olah disembelih.
Keistimewaan lainya adalah karena ikan tidak memiliki saluran darah
(tidak memiliki leher untuk disembelih, begitu juga dengan belalang).
Dari berbagai uraian tersebut,
tampak bahwa ketentuan-ketentuan yang menjadi pedoman Islam sangat
bersesuaian dengan sains atau ilmu pengetahuan yang dipelajari secara
ilmiah. Ketentuan-ketentuan dalam Islam sangat rasional dan logis yang
pada akhirnya memberikan kemanfaatan yang luar biasa bagi umat manusia.
Tidak terkecuali perihal kehalalan bangkai laut, maka Islam dengan tegas
menjawab bahwa bangkai laut halal. Yang dimaksud bangkai laut di sini
adalah ikan yang sudah mati. Tanpa disembelih, hukumnya memakan bangkai
laut adalah halal. Berbeda dengan hewan selain ikan dan binatang, maka
ia wajib disembelih dengan menyebut nama Allah.
Penulis : Rahmat Syariffudin
Editor: Lismanto
No comments:
Post a Comment